Wongalus
WAWANCARA SOSOK GURU KEBATINAN TANAH JAWA:
”ILMU DUNYA SEHEBAT APAPUN TAK MAMPU MENGALAHKAN ILMU BATIN”
Sukhoi Superjet 100 dari Russia
adalah pesawat penumpang canggih. Namun akhirnya harus menabrak tebing
di Gunung Salak yang memang sering memakan korban. Mari bersama dilihat
dari sisi supranatural.
Gunung
Salak sebenarnya berdiri dengan anggun di wilayah Kabupaten Sukabumi
dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Gunung ini mengagumkan dan itu sebabnya
banyak pendaki gunung yang melakukan pendakian di sana. Sebenarnya
gunung itu tidak begitu tinggi yaitu 2.221 meter dibanding dengan
pegunungan lain di Jawa yang mencapai 3000 meter lebih. Namun kenapa
gunung ini menyimpan misteri kecelakaan-kecelakaan pesawat berujung
maut?
Setidaknya
kecelakaan pesawat yang pernah terjadi di sekitar Gunung Salak antara
lain Helikopter Sikorsky, Pesawat Cessna, Pesawat Cassa, Pesawat latih
jenis Sundowner, Helikopter Puma dan terakhir Pesawat Sukhoi Superjet
100 yang sedang melakukan joy flight saat pengetesan dan promosinya
untuk maskapai-maskapai di Indonesia, hilang kontak di kawasan Gunung
Salak, Bogor, pada hari Rabu 9 Mei 2012
Pesawat
Sukhoi buatan Rusia kali ini jatuh dengan kondisi mengenaskan. Badan
pesawat pecah berkeping-keping. Mirip seperti sebuah gelas yang dilempar
ke dinding dengan sangat keras.
Pesawat
tersebut dioperasikan oleh pilot senior terbaik Rusia yaitu Aleksandr
Yablontsev, co-pilot Aleksandr Kochetkov. Dan terdapat 45 penumpang, 8
di antaranya merupakan kru asal Russia, 2 orang Italia, satu orang warga
negara Perancis dan satu orang warga negara Amerika.
Tak hanya
pesawat, manusia yang sedang mendaki pun terkadang bisa ‘hilang kontak’
di kawasan Gunung Salak. Pada April tahun 1987 lalu, pernah ada pula
tujuh pendaki dari siswa STM Pembangunan, Jakarta Timur, ditemukan tewas
di kawasan gunung itu. Mereka terperosok ke jurang di Curug Orok yang
memiliki kedalaman sekitar 400 meter di punggung gunung.
Gunung
Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub
pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini
dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang
mengunjungi gunung ini. Gunung ini memiliki jalur yang cukup sulit bagi
para pendaki pemula. Hal ini dikarenakan di jalur yang dilewati jarang
ditemukan cadangan air.
Gunung
Salak memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun
medannya. Untuk tipe gunung serendah itu, Gunung Salak termasuk memiliki
medan yang tergolong sulit ditembus, itu sebabnya gunung ini sangat
cocok dijadikan lokasi latihan oleh berbagai kalangan pencinta alam dan
militer.
Di wilayah
gunung Salak, untuk mencari sumber mata air saja, pendaki tidak boleh
sembarangan mengambilnya dari anak-anak sungai disana karena hampir
semua air di sungai tersebut masih mengandung sulfur yang berbahaya
untuk tubuh.
Di
kawahnya yang juga disebut “kawah ratu” masih terdapat sumber sulfur
dan belerang baik berupa gas, uap ataupun kubangan yang panas dan
mendidih. Pernah juga siswa-siswa SMP di Jawa Barat dan jjuga masih ada
sederet peristiwa di wilayah “kawah ratu” ini yang meninggal dunia. Ini
diakibatkan kawah tersebut dapat dengan tiba-tiba mengeluarkan asap
belerang yang dapat meracuni paru-paru. Karena kondisi inilah, maka
Kawah Ratu dianggap angker dan berbahaya oleh para pencinta alam.
Masyarakat
Sunda yang tinggal di sekitar Gunung Salak meyakini disanalah tempat
bersemayam dan turunnya para Batara dari Kahyangan sehingga sering
disebut gunung kabuyutan. Peran gunung sebagai kabuyut dapat dilihat
dari cerita-cerita rakyat dan juga tuturan para pini sepuh. Gunung Salak
ini juga dipercaya merupakan asal usul kehidupan sehingga siapa yang
dapat menemukan hakekatnya akan menjadi manusia arif.
Menurut
masyarakat, nama Salak berasal dari Siloka dan salaka yang berarti
simbol atau tanda dan juga asal-usul. Masyarakat adat disana periodik
menggelar acara-acara ritual seperti seren taun, muludan, yang
hakekatnya adalah penghormatan terhadap alam.
Selain
misterius dan memiliki keterkaitan kuat dengan kepercayaan adat, di
Gunung Salak ditemukan penemuan arkeologis berupa bebatuan yang
berbentuk Punden Berundak dari masa neolithikum atau zaman batu baru di
daerah Bogor. Tempat penemuan arkeologis itu sampai sekarang masih
terjaga dan terawat dengan baik. Masyarakat meyakini bahwa di tempat
tersebut pada masa lalu adalah pusat kekuasaan Sunda pada zaman baheula.
Sedangkan di
daerah Girijaya juga selain terdapat batuan berupa Punden Berundak,
walau lebih kecil dari yang terdapat di Bogor. Punden berundak yang
terdapat di Jalur Girijaya, bila kita hendak mendaki puncak gunung Salak
ini, dipercaya juga sebagai petilasan dari Eyang Santri ketika beliau
berkhalwat. Di daerah ini juga terdapat makam yang diyakini oleh
masyarakat sebagai makam keramat. Pada malam hari, terutama malam-malam
tertentu makam dipenuhi peziarah. Makam ini merupakan makan Eyang
Santri.
Siapa Eyang Santri?
Eyang Santri
sesungguhnya adalah Pangeran Djojokusumo, kerabat dekat Trah
Mangkunegaran, cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan
anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu Pangeran Prabuamidjojo. di
masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah
Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka
pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali
dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo
ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri
Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah
lahir Pangeran Djojokusumo yang sejak lahir memiliki kekuatan daya
pikir dan daya batin yang linuwih.
Pangeran
Djojokusumo lahir pada tahun 1770, di masa remajanya ia banyak berguru
dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu
agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan
Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga
merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V.
Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan
Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan
bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi
Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom
Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi
Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat,
susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap.
Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran
Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran
Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera
Mahkota.
Pada tahun
1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang
mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian
diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno
yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II
yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau
masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh
Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan
penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan
pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran
Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra
Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton
Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram
ke dalam bentuknya yang semula.
Setelah
selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan
cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro
tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan
untuk berkeliling Jawa.
Dalam
keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat
‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam
keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’.
Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V
sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi
penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di
Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di
bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama
Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit
bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan
bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat
Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan
kelaparan hebat.
Pangeran
Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa
menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan
penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau
Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan
Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada
tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan
karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun
jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan
penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi
terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak
tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan
Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.
Sehabis
menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui
pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati :
“Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi
berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat, bila kamu
memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan
membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran
Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di
Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di
Modjo, Surakarta.
Pada Mei
1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan,
di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para
Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari
Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto
sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan
Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang
Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro
percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya.
Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro
kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran
Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan
merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo
langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang
bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo
berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun
Pakubuwono VI”.
Pangeran
Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun
Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran
Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran
Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta
Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.
Pangeran
Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran
Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman
Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk
persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan.
Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama
cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut
berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk
kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang
Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran
Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak
lama ia membuka matanya dan berkata
“Akan ada
banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa
akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas
Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita
harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan
mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin
crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada
baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat
diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran
Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran
Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung
Merbabu.
Pangeran
Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI
meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini
juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak
Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan,
setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras
di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah
kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan
Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda.
Setelah
kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran
Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal
menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa
dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden
Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak
mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila
Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi
data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang
sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama
Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun
kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa
kebangkitan harga diri orang Jawa.
Singkatnya
Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut
Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan
pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo.
Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun
rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda
akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung
Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran
Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran
Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar
Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.
Perang
Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI
ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang
menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo
juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo
akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia
dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia
ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani
cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.
Di Cidahu,
Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro
lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari
Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke
Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa
Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis
politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang
Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan
Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan
dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin
Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi
pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu
pagi Wahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri,
setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas
dan bermeditasi.
Disana juga
eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai
manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang
Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah
bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke
rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi
Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa.
Di awal
tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap
mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat
Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang
menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran
ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke
Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat
Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus
kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru
ke Eyang Santri.
Bung Karno
sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke
THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung
Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk
melawan Belanda.
Eyang santri
wafat tahun 1829 di usianya yang 159 tahun. Itulah jasa Eyang sebagai
guru sesepuh kebatinan para pejuang masa lalu kita.
Berikut wawancara imajiner saya dengan Eyang Santri:
Wongalus: Assalamualaikum
Eyang santri: Waalaikum salam wr wb.
Wongalus: Sugeng siang, Rahayu Eyang… Mohon perkenaan eyang saya ingin menghadap untuk mohon wejangan dan pitutur.
Eyang Santri: ya le silahkan….
Wongalus:
Eyang adalah guru para sesepuh kebatinan tanah Jawa, apa yang
sesungguhnya terjadi dalam musibah jatuhya pesawat Sukhoi?
Eyang
Santri: Kesombongan di hati pilot dan manusia umumnya. Merasa hebat
dengan ilmu-ilmu dunya sehingga mendapatkan celaka karena melanggar
hukum alam, jadi alam yang mengingatkan mereka
Wongalus: Apakah itu berarti ada yang dilanggar saat pesawat melintas diatas Gunung Salak?
Eyang
Santri: Pasti le.. pilot harusnya mengucapkan salam kepada semua
penghuni gaib diwilayah ini dan itu tidak dilakukan. Di hati Pilot ada
kesombongan dirinya punya banyak pengalaman dan di atas gunung yang
kujaga ini malah ingin mempertunjukkan kesombongannya.
Wongalus: lalu apa yang terjadi eyang?
Eyang
Santri: Sebenarnya sudah ada penghuni gaib masuk ke batin pilot untuk
mengingatkan dan menyarankan agar pilot mengucapkan salam takzim kepada
penghuni goib disemua wilayah bumi khususnya di wilayah gunung salak
saat melintas di atasnya. Namun di batin pilot menolak memberi salam,
awalnya perang batin terjadi pada diri pilot itu.
Wongalus: selanjutnya?
Eyang
Santri: Pilot malah ingin mempertontonkan kepintarannya menyetir
pesawat, ia turunkan pesawat dari ketinggian dan akhirnya menabrak
gunung yang kami jaga ini. Kesombongan pilot membuat penghuni goib
disini tersinggung dan mengganjarnya dengan musibah. Tamu harus tahu
sopan santun.
Wongalus: Astaghfirullahaladzim… korban telah jatuh eyang
Eyang
santri: Semoga Gusti Allah memberi tempat terbaik sesuai dengan amal
perbuatan mereka. Bagi keluarga yang ditinggalkan, sabar dan tabah
karena ini sudah takdir.
Wongalus: Apa yang bisa kita ambil hikmah dan manfaat dari kejadian ini, eyang?
Eyang
Santri: sehebat apapun ilmu dunya, tak akan mampu mengalahkan kekuatan
alam dan kekuatan batin bangsa kita. Kita ini bangsa yang unggul karena
disinilah kawah candradimuka dan sebagai pendidikan kekuatan batin
manusia. Maka kalau ingin selamat dunia akhirat, pelajari dan kemudian
olah batinmu dengan laku tirakat agar menjadi tajam akan tanda-tanda
kekuasaan Gusti Allah. Gusti Kang Murbeng Dumadi, Sang Pencipta Alam
semesta. Hargai dan hormati alam ciptaan Allah baik yang nyata maupun
yang goib, jangan sekali kali merusak dan menunjukkan kesombongan karena
nanti ada hukum karma sebab dan akibat.
Wongalus:
Terima kasih Eyang, petuah dan wejangan eyang ini akan bermanfaat bagi
kami. Sungkem saya untuk semua sesepuh penghuni goib yang ada di sana.
Eyang Santri: ya le… semoga yang membaca tulisanmu mendapatkan pelajaran kejadian ini.
Wongalus: Assalamualaikum
Eyang Santri: Waalaikumsalam wr wb
@@@